Unsur massif, terstruktur, dan sistematis tidak mudah dibuktikan.
Proses Pemilu Presiden dan Presiden (Pilpres) 2014 sudah masuk proses
rekapitulasi suara berjenjang. Melihat dinamika yang berkembang saat
ini, sejumlah kalangan yakin sengketa Pilpres akan dibawa ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Meskipun kepastian pendaftaran permohonan sengketa baru
akan terlihat pasca pengumuman hasil resmi KPU, kedua kubu capres
diwanti-wanti agar mempersiapkan bukti yang kuat.
Akademisi Universitas Pasundan, Asep Rahmat, mengatakan pengajuan
perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi bukan
perkara gampang. Setidaknya, kata Asep, ada dua alasan yang mendasari. Pertama,
harus dibuktikan apakah terjadi salah hitung dalam proses rekapitulasi
suara sehingga berpengaruh signifikan terhadap hasil Pemilu. Kedua, apakah terdapat pelanggaran yang masif, terstruktur dan sistematis.
Sekadar perbandingan dari PHPU Pileg 2009, Asep mencatat, dari 600
perkara hanya 10 persen yang dikabulkan MK. Sedangkan dari berbagai
perkara Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 yang masuk ke MK hanya 2 persen
yang dikabulkan. “Mengajukan gugatan itu tidak mudah. Selain ada salah
hitung, harus ditemukan pelanggaran yang masif, sistematis dan
terstruktur,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Selasa (15/7).
Menurut Asep, masyarakat membutuhkan kepastian siapa pemimpin mereka
pasca Pilpres 2014. Lebih cepat diputuskan akan lebih baik bagi
masyarakat. Ia berharap agar masing-masing kubu pasangan calon tidak
memaksakan diri mengajukan sengketa Pilpres ke MK pasca penetapan hasil
pemilu oleh KPU. Asep yakin masyarakat mampu menerima siapa pasangan
calon yang terpilih dalam Pilpres 2014. Tinggal bagaimana elit politik menyikapi.
Permohonan sengketa akan menambah beban MK yang belum lama selesai menyelesaikan PHPU Pileg. Mahkamah sendiri berharap
sengketa selesai di level penyelenggara pemilu. Kalaupun pada akhirnya
masuk, itu menjadi ujian bagi independensi dan integritas hakim MK,
terutama yang berlatar belakang politik.
Kesulitan membuktikan syarat PHPU juga diamini Direktur Institute for Strategic Initiative
(ISI), Lucky Djani. Lucky mengatakan walau di beberapa daerah terjadi
kecurangan tapi sifatnya tidak sistematis, terstruktur dan masif.
Sebagaimana Asep, Lucky yakin jika ada pasangan calon yang mengajukan
sengketa Pilpres namun tidak memenuhi unsure unsur tersebut maka besar
kemungkinan ditolak MK. “Karena tidak ada pelanggaran yang sifatnya
sistematis, terstruktur dan masif,” ujarnya.
Lucky berpendapat kecurangan yang masif terjadi pada saat Pileg 2014.
Sebab, terjadi manipulasi peghitungan suara hampir di setiap daerah dan
tidak sedikit penyelenggara Pemilu yang bermain dengan caleg. Atau malah
caleg yang mengintimidasi penyelenggara Pemilu.
Kecurangan yang terjadi selama Pilpres 2014 menurut Lucky polanya sudah
bergeser. Tidak lagi menggunakan modus lama seperti membagi bagikan
sembako kepada pemilih. Tapi, sekarang lebih banyak memanfaatkan jabatan
publik untuk mempengaruhi pemilih. Hal tersebut diperjelas lewat hasil
penelitian Forum Masyrakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang
menyebut 56 persen caleg terpilih adalah wajah baru.
Namun caleg wajah baru itu merupakan politisi lokal yang naik kelas ke
badan legislatif di tingkat pusat. Atau mereka punya relasi dengan
penyelenggara pemerintahan di tingkat lokal dan pusat. Instrumen
kecurangan yang digunakan selama Pileg 2014 menurut Lucky diantaranya
lewat proyek pemerintah dan pengaruh kekuasaan.
Sementara peneliti CSIS, Phillips J Vermonte, menguraikan ada hal
positif semasa perhelatan Pilpres 2014. Salah satunya peningkatan
keterlibatan publik dalam monitoring hasil pemungutan suara. Hal itu
juga dipengaruhi terobosan yang dilakukan KPU sehingga publik dapat
melihat langsung form C1 yang diunggah. Menurutnya perkembangan itu
penting bagi demokrasi karena masyarakat dapat mengawal suaranya dari
TPS sampai tingkat nasional. “Sekarang yang mengawasi bukan hanya badan
yang punya wewenang seperti KPU dan Bawaslu, tapi sekarang masyarakat
bisa mengontrol,” urai Phillips.
Terpisah, komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah, menegaskan pada
prinsipnya KPU terbuka terhadap publik. Dalam rangka pengawalan, publik
dapat melihat berkas C1 yang sudah diunggah di laman KPU. Jika ditemukan
kesalahan atau kejanggalan, publik dapat melapor ke KPU untuk segera
ditindaklanjuti penyelesaiannya. Jumlah berkas C1 yang sudah discan saat
ini mencapai 96 persen. “Seluruh masyarakat Indonesia bisa memantau
data real di lapangan berupa data C1 itu,” tukasnya.
KPU menurut Ferry juga ingin memastikan rekapitulasi suara berjenjang
yang sedang dilakukan tidak ada perubahan mulai dari TPS, PPS, PPK dan
nasional. Sejauh ini KPU belum menemukan ada persoalan serius di
lapangan. Jika dibutuhkan koreksi, KPU akan bergerak saat itu juga.
Sumber: hukumonline
Tidak ada komentar:
Posting Komentar