Setelah melalui proses yang
cukup panjang, akhirnya Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah telah
diundangkan pada tanggal 18 Maret 2015 yaitu Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Pilkada ini telah menyedot
perhatian publik yang begitu besar disebabkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya Undang-Undang ini dalam menentukan arah dan perkembangan
demokrasi di aras lokal. Masyarakat masih sangat yakin pilkada
langsung memiliki peluang lebih besar untuk melahirkan pemimpin yang
kompeten dan berintegritas dibandingkan dengan pemilihan melalui DPRD.
Terlepas dari proses politik yang cukup rumit dalam pembentukan
Undang-undang ini, ada beberapa terobosan yang perlu mendapat perhatian,
salah satunya adalah mengenai pilkada serentak.
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati,dan Walikota menjadi Undang-undang, telah secara jelas
menguraikan skenario Pilkada serentak yang akan dimulai pada bulan
Desember tahun ini bagi daerah yang masa jabatan kepala
daerahnya berakhir tahun 2015 dan semester pertama tahun 2016. Kemudian
untuk daerah yang masa Jabatan Kepala daerahnya berakhir pada semester 2
Tahun 2016 dan tahun 2017 Pilkada serentaknya dilaksanakan pada Bulan
Februari 2017, sedangkan bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya
berakhir tahun 2018 dan 2019 pelaksnaan pilkadanya pada bulan Juni
tahun2018. Kemudian Tahun 2019 dijadikan Tahun pelaksanaan Pemilu
Nasional serentak, dimana pemilu legislatif dan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden dilaksanakan pada hari dan waktu yang sama. Selanjutnya
pilkada akan kembali digulirkan pada Tahun 2020 yang merupakan
kesinambungan pelaksanaan Pilkada Tahun 2015, Tahun 2022 yang merupakan
kesinambungan pelaksanaan pilkada 2017 dan Tahun 2023 sebagai
kesinambungan dari pelaksanaan pilkada Tahun 2018. Pada akhirnya
Pilkada serentak secara nasional akan terwujud pada Tahun 2027.Dengan
demikian, pasca Tahun 2027 hanya akan ada dua kali pemilu, yaitu Pemilu
Nasional yang terdiri dari Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden serta
Pemilihan Kepala Daerah. Menurut beberapa sumber, Pilkada Serentak
didesain paling tidak berdasarkan 3 (tiga) pertimbangan.Pertama,
berdasarkan pengalaman pelaksanaan pilkada selama ini menunjukan
kepada kita bahwa begitu berserakannya jadwal pilkada selama kurun
waktu 2005 sampai dengan 2014. Pada kurun waktu tersebut dalam setiap
tahunnya selalu ada daerah yang melaksanakan pilkada, hal ini
memunculkan kelelahan penyelenggaraan yang tak jarang diwarnai
kegaduhan dan konflik ditingkat lokal yang kadang merembet menjadi
konflik nasional. Kedua, gagasan pilkada serentak pada prinsifnya
merupakan keinginan memberikan efektifitas pada semua, dan
membangun demokrasi lokal yang lebih ramah baik bagi Partai Politik,
Pasangan Calon, Penyelenggara, dan Pemilih. Ketiga, pilkada serentak
juga bisa menjadi alat penguatan sistem pemerintahan yang ditandai
dengan siklus pemilu yang lebih rapi.
Kaitannya
dengan penataan siklus pemilu yang lebih rapi, idealnya pemilu serentak
itu dilaksanakan dalam dua tingkatan. Tingakat pertama adalah
Pemilu serentak nasional yang terdiri dari Pemilu Anggota DPR,
DPD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan
pada hari dan waktu yang bersamaan. Kemudian tingkat kedua
adalah Pemilu serentak daerah yang terdiri dari Pemilu DRPD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota serta Pemilu Gubernur dan Wakil
Gubernur dan Wakil Gubernur, dan Pemilu Bupati/Walikota dan Wakil
Bupati/Walikota yang dilaksanakan pada hari dan waktu bersamaan. Dengan
adanya dua tingkatan pemilu serentak tersebut pengisian jabatan di
legislatif maupun eksekutif selalu akan diawali dari tingkat nasional
baru kemudian tingkat daerah. Sayangnya desain ideal ini tidakakan
mudah terwujud, dikarenakan Pilkada bukan bagian dari rezim
Pemilu, karena rezim pemilu menurut Pasal 22E UUD 1945 hanya terdiri
dari Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Atas dasar
itu pula Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 97/PUU-XI/2013
yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pilkada bukan merupakan rezim
pemilu melainkan bagian dari rezim Pemerintah Daerah yang
pengaturannya berdasarkan Pasal 18 UUD 1945. Dengan demikian,
tidak mungkin pelaksanaan pilkada dilebur dengan pemilu, atau
dengan kata lain tidaklah mungkin menyelenggarakan Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota
berbarengan dengan Pemilihan Anggota DPRD Provinsi dan DPRDKabupaten.
Desain ideal Pemilu bertingkat/berjenjang hanya akan terwujud
apabila pilkada masuk menjadi bagian dari rezim pemilu atau ketika
sitem pemilihan itu hanya terdiri dari satu rezim, yaitu rezim Pemilu.
Karena
Pilkada bukan rezim Pemilu, sedangkan KPU sebagai bagian dari rezim
Pemilu maka konsekuensinya akan terjadi kekosongan konstitusional
penyelenggara Pilkada, dalam artian posisi penyelenggara Pilkada
menjadi tidak pasti apakah KPU atau Pemerintah Daerah.Kemudian untuk
mengisi kekosongan konstitusional inilah KPU “dipaksa” oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 untuk menyelenggarakan Pilkada.
Konsekuensi lain dari persolan ini adalah terkait dengan kewenangan
memutus sengketa hasil pilkada, karena Pilkada bukan merupakan rezim
Pilkada, maka Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk memutus
sengketa hasil pilkada, dengan demikian kewenangan tersebut
harus diserahkan kembali ke Mahkamah Agung. Mungkin karena
berdasarkan pertimbangan pengalaman penanganansengketa pilkada dan
pertimbangan-pertimbangan lainnya, sehingga pembuat Undang-undang Nomor
8 Tahun 2015 “memaksa” Mahkamah Konstitusi untuk menangani dan
memutus sengketa hasil Pilkada. Untuk jangka pendek persoalan
konstitusional ini mungkin tidak akan banyak yang mempermasalahkan,
tetapi untuk jangka panjang bisa saja akan menjadi masalah serius dan
menjadi faktor penghambat pelaksanaan pilkada-pilkada serentak
selanjutnya.
Terlepas
dari persoalan konstitusional diatas, disain pilkada serentak yang
sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 patut
diapresiasi sebagai salah satu upaya penguatan sistem
pemerintahan dan demokrasi yang hendak mengatur siklus pilkada
agar terlaksana lebih rapi. Efektifitas Undang-undang Pilkada ini akan
teruji mulai Desember Tahun 2015 ini, dimana berdasarkan data yang
dirilis PERLUDEM akan ada 269 Daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada.
Februari Tahun 2017 ada 99 daerah dan pada gelombang terakhir yaitu
Juni Tahun 2018 sebanyak 171 daerah.
Ujian
pertama pelaksnaan Pilkada serentak Tahun 2015 ini akan bermula dari
penyediaananggaran, Ketentuan Pasal 166 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 mengatur pendanaan pilkada bersumber dari
APBD dan dapat didukung oleh APBN, dalam ayat selanjutnya
disebutkan dukungan pendanaan dari APBN akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah, sampai saat ini Peraturan Pemerintah mengenai
dukungan pendanaan dari APBN belum juga diterbitkan. Disisi lain dalam
Perpu pilkada mengatur sebaliknya, yaitu pendanaan Pilkada bersumber
dari APBN dengan dukungan pendanaan dari APBD. Perubahan sekema
penganggaran inilah yang mungkin membuat daerah luput untuk
mengalokasikan anggaran Pilkada dalam pembahasan APBDnya atau
bisa jadi daerah berasumsi bahwa ketentuan penganggaran ini tidak
akan berubah seperti yang diatur dalam Perpu dan mungkin daerah hanya
mempersiapkan dana dukungan pilkada. Selain itu Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015disahkan pada Tanggal 18 Maret 2015 pada saat
APBD sudah disahkan. Sehingga beberapa daerah cukup kesulitan untuk
melakukan revisi APBD yang berdampak pada terhambatnya tahapan
Pilkada yang seharusnya sudah berjalan, padahal dalam rentang waktu yang
kurang darisatu bulan setelah Undang-undang ini di sahkan,
menurut tahapan pelaksanaan pilkada sebagaimana diatur dalam
Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015 KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan Pilkada harus sudah
membentuk PPK di tingkatkecamatan dan PPS di tingkat desa/keluraran,
serta harus sudah merancang aktivitas sosialisas idan pendidikan
politik kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan pilkada.
Ditengah keterbatasan waktu dan persoalan anggaran yang belum tuntas
tersebut, jangan berharap banyakkonsolidasi di tingkat penyelenggara
berjalan secara optimal dan akankah tersusun rancangan aktivitas
sosialisasi dan pendidikan politik yang visioner.
Masalah
lain yang masih terkait dengan anggaran, yaitu potensi
membengkaknyaanggaran pilkada dikarenakan adanya kampanye yang dibiayai
Negara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 65 ayat (2)
yaitu kampanye berupa debat publik, penyebaran bahankampanye,
pemasangan alat peraga dan iklan di media, dampak dari ketentuan ini
diprediksiakan membuat anggaran pilkada membengkak pada kisaran
30-40 % dibandingkan dengananggaran pilkada sebelumnya, dan itu belum
termasuk penghitungan kenaikan akibat inflasi yang dalam batasan normal
kurang lebih 6 % per tahun.
Dampak
lain dari ketentuan kampanye yang dibiayai Negara yaitu makin
bertambahrumitnya pekerjaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
dikarenakan harus disibukandengan pengadaan dan pengelolaan bahan
kampanye yang dalam pilkada sebelumnya sebagian besar menjadi domain
peserta pilkada. Harusnya hal ini harus segera diantisipasi
dengan diterbitkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pendanaan kampanye olehnegara yang pada pokoknya mengatur
mekanisme pendanaan yang tidak membuat sibukpenyelenggara, misalnya
dengan sitem reimburse, yaitu pasangan calon dipersilahkan
melakukanpengadaan bahan kampanye serta melakukan kegiatan
kampanye yang termasuk katagori kampanye di biayai Negara, baru
kemudian mengajukan penggantian kepada Negara sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati.
Hal
baru lainnya dalam Undang-undang pilkada ini yang berpotensi
menambahbengkaknya anggaran yaitu dibentuknya pengawas TPS yang
dibentuk 23 hari sebelumpemungutan suara dan dibubarkan 7 hari
sesudah pemungutan suara sebagaimana diatur dalam Pasal 27. Bisa
dibayangkan betapa besar anggaran yang harus dialokasikan untuk membayar
honor pengawas TPS, ambil contoh Kabupaten Bogor yang dalam Pilkada
Tahun 2013 memilikiTPS sebanyak 7.716 berarti sebanyak itu pula pengawas
TPS yang harus di beri honorarium.Maksud diadakannya pengawas pilkada
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 adalah untuk meminimalisir
potensi kecurangan. Padahal, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
LP3ES justru kecurangan pilkada berupa manipulasi angka dan
sejenisnya banyak terjadi ditingkat rekapitulasi mulai dari Desa,
Kecamatan sampai dengan tingkatan diatasnya. Artinya,dibentuknya
pengawas TPS merupakan diagnosa keliru yang justru membebani anggaran.
TPS tidak perlu diawasi secara khusus, karena penghitungan suara di TPS
sudah sangat transparan dengan adanya pengawasan langsung dari
masyarakat. Justru proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS
pada pemilu/pilkada di Negara kita merupakan yang terbaik di
dunia,karena pemungutan dan penghitungan dilaksanakan pada hari dan
waktu yang bersamaan diseluruh wilayah Indonesia serta dengan proses
yang sangat transparan. Di Amerika dan India saja prosesnya tidak
seperti yang terjadi di Negara kita, di India misalnya pemungutan suara
hari dan waktunya berbeda-beda untuk setiap Negara bagian.
Tantangan
lain dari pilkada serentak yaitu adanya kemungkinan isu
spesifik daerah tenggelam dengan isu nasional, kondisi ini amat
mungkin terjadi pada daerah-daerah yang jadwal pelaksanaan
pilkadanya berbarengan dengan DKI Jakarta. Hampir dipastikan isu pilkada
DKI Jakarta akan menjadi isu nasional yang menyedot perhatian
masyarakat se-nusantara termasuk masyarakat yang didaerahnya sedang
berlangsung pilkada. Menjadi kontraproduktif ketika masyarakat lebih
paham isu pilkada di luar ketimbang isu pilkada yang ada di daerahnya.
Selain
hal tersebut diatas, titik waspada pelaksanaan pilkada serentak
yaitu potensi konflik serentak atau bahkan kerusuhan serentak, hal ini
bisa dipahami dikarenakan berdasarkan pelaksanaan pilkada-pilkada
sebelumnya tidak sedikit daerah yang diwarnai konflik bahkan
kerusuhan. Untuk mengantisipasi hal ini perlu adanya konsolidasi serius
aparat keamanan dan strategi pengamanan harus diperbaharui. Selain itu
proses penegakan hukum dalam pilkada harus lebih baik dengan belajar
dari evaluasi pelaksanaan penegakan hukum pileg dan pilpres yang lalu,
sehingga prinsip electoral justice dapat terjaga dengan baik.
Kekurangan
yang nampak dalam Undang-undang Pilkada terkait dengan proses penegakan
hukum adalah tidak terdapatnya ketentuan pidana yang mengatur tentang
politik uang (money politic) dan mahar politik. Padahal dua
tindakan tersebut harusnya diganjar dengan hukuman yang sangat berat,
karena politik uang dan mahar politik merupakan sisi gelap pelaksanakan
demokrasi di Indonesia yang karenannya prinsip electoral justice tidak akan pernah tegak.
Pada akhirnya, perlu kerja keras dari seluruh stakeholder
untuk mewujudkan pilkada serentak yang kondusif sebagi upaya penataan
siklus pemilu yang lebih rapi. Kita masih percaya bahwa proses yang
baik akan berbuah baik, rakyat masih percaya bahwa melalui
pilkada langsung peluang untuk menghasilkan pemimpin daerah yang
berintegritas lebih besar ketimbang dipilih melalui DPRD, mungkin
karena keyakinan rakyat itulah Undang-undang pilkada ini lahir
dengan segala kekurangannya. Semoga kekurangan-kekurangan ini bisa
dengan cepat tertutupi dengan peraturan perundang-undangan dibawahnya.
Kita tidak berharap pilkadaserentak menjadi kekacauan serentak.
Sumber: KPU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar