PPK Paninggaran  PPK Paninggaran  PPK Paninggaran  PPK Paninggaran  PPK Paninggaran  PPK Paninggaran  PPK Paninggaran  PPK Paninggaran  PPK Paninggaran  PPK Paninggaran  PPK Paninggaran  PPK Paninggaran  PPK Paninggaran  PPK Paninggaran  PPK Paninggaran
infopaytren.com

Sabtu, 27 Juni 2015

Menakar Peluang dan Tantangan Pilkada Serentak

Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah telah diundangkan pada tanggal 18 Maret 2015 yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  2014  tentang  Pemilihan  Gubernur, Bupati  dan  Walikota  Menjadi  Undang-Undang.  Undang-Undang  Pilkada  ini  telah  menyedot perhatian publik yang begitu besar disebabkan kesadaran masyarakat akan pentingnya Undang-Undang ini  dalam menentukan arah dan perkembangan demokrasi  di  aras  lokal.  Masyarakat masih sangat yakin pilkada langsung memiliki peluang lebih besar untuk melahirkan pemimpin yang kompeten dan berintegritas dibandingkan dengan pemilihan melalui DPRD. Terlepas dari proses politik yang cukup rumit dalam pembentukan Undang-undang ini, ada beberapa terobosan yang perlu mendapat perhatian, salah satunya adalah mengenai pilkada serentak.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,dan Walikota menjadi Undang-undang, telah secara jelas menguraikan skenario Pilkada serentak yang  akan  dimulai  pada  bulan  Desember  tahun  ini  bagi  daerah  yang  masa  jabatan  kepala daerahnya berakhir tahun 2015 dan semester pertama tahun 2016. Kemudian untuk daerah yang masa Jabatan Kepala daerahnya berakhir pada semester 2 Tahun 2016 dan tahun 2017 Pilkada serentaknya dilaksanakan pada Bulan Februari 2017, sedangkan bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir tahun 2018 dan 2019 pelaksnaan pilkadanya pada bulan Juni tahun2018. Kemudian Tahun 2019 dijadikan Tahun pelaksanaan Pemilu Nasional serentak, dimana pemilu legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada hari dan waktu yang sama.  Selanjutnya  pilkada  akan  kembali  digulirkan  pada  Tahun  2020  yang  merupakan kesinambungan pelaksanaan Pilkada Tahun 2015, Tahun 2022 yang merupakan kesinambungan pelaksanaan pilkada  2017 dan  Tahun 2023 sebagai  kesinambungan  dari  pelaksanaan pilkada Tahun 2018. Pada akhirnya Pilkada serentak secara nasional akan terwujud pada Tahun 2027.Dengan demikian, pasca Tahun 2027 hanya akan ada dua kali pemilu, yaitu Pemilu Nasional yang terdiri dari Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden serta Pemilihan Kepala Daerah.  Menurut beberapa  sumber,  Pilkada  Serentak  didesain  paling tidak  berdasarkan  3 (tiga)  pertimbangan.Pertama, berdasarkan  pengalaman  pelaksanaan  pilkada  selama  ini  menunjukan  kepada  kita bahwa begitu berserakannya jadwal pilkada selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2014. Pada kurun waktu tersebut dalam setiap tahunnya selalu ada daerah yang melaksanakan pilkada, hal ini memunculkan  kelelahan penyelenggaraan yang tak jarang diwarnai kegaduhan dan konflik ditingkat lokal yang kadang merembet menjadi konflik nasional. Kedua, gagasan pilkada serentak pada  prinsifnya  merupakan  keinginan  memberikan  efektifitas  pada  semua,  dan  membangun demokrasi lokal yang lebih ramah baik bagi Partai Politik, Pasangan Calon, Penyelenggara, dan Pemilih.  Ketiga, pilkada serentak juga bisa menjadi alat penguatan sistem pemerintahan yang ditandai dengan siklus pemilu yang lebih rapi.

Kaitannya dengan penataan siklus pemilu yang lebih rapi, idealnya pemilu serentak itu dilaksanakan  dalam  dua  tingkatan.  Tingakat  pertama  adalah  Pemilu  serentak  nasional  yang terdiri  dari  Pemilu  Anggota  DPR,  DPD  dan  Pemilu  Presiden  dan  Wakil  Presiden  yang dilaksanakan  pada  hari  dan  waktu  yang bersamaan.  Kemudian  tingkat  kedua  adalah  Pemilu serentak  daerah  yang  terdiri  dari  Pemilu  DRPD  Provinsi  dan  DPRD  Kabupaten/Kota  serta Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur dan Wakil Gubernur, dan  Pemilu Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota yang dilaksanakan pada hari dan waktu bersamaan. Dengan adanya dua  tingkatan pemilu serentak tersebut pengisian jabatan di legislatif maupun eksekutif selalu akan diawali  dari  tingkat nasional baru kemudian tingkat daerah.  Sayangnya desain ideal ini  tidakakan  mudah  terwujud,  dikarenakan  Pilkada  bukan  bagian  dari  rezim  Pemilu,  karena  rezim pemilu menurut Pasal 22E UUD 1945 hanya terdiri dari Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Atas  dasar  itu  pula  Mahkamah  Konstitusi  melalui  Putusan  No  97/PUU-XI/2013  yang  pada pokoknya menyatakan bahwa Pilkada bukan merupakan rezim pemilu melainkan bagian dari rezim  Pemerintah  Daerah  yang  pengaturannya  berdasarkan  Pasal  18  UUD  1945.  Dengan demikian,  tidak  mungkin  pelaksanaan  pilkada  dilebur  dengan  pemilu,  atau  dengan  kata  lain tidaklah mungkin menyelenggarakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota berbarengan dengan Pemilihan Anggota DPRD Provinsi dan DPRDKabupaten.  Desain  ideal  Pemilu  bertingkat/berjenjang  hanya  akan  terwujud  apabila  pilkada masuk menjadi bagian dari rezim pemilu atau ketika sitem pemilihan itu hanya terdiri dari satu rezim, yaitu rezim Pemilu.

Karena Pilkada bukan rezim Pemilu, sedangkan KPU sebagai bagian dari rezim Pemilu maka  konsekuensinya  akan  terjadi  kekosongan  konstitusional  penyelenggara  Pilkada,  dalam artian posisi penyelenggara Pilkada menjadi tidak pasti apakah KPU atau Pemerintah Daerah.Kemudian  untuk  mengisi  kekosongan  konstitusional  inilah   KPU  “dipaksa”  oleh  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 untuk menyelenggarakan Pilkada. Konsekuensi lain dari persolan ini adalah terkait dengan kewenangan memutus sengketa hasil pilkada, karena Pilkada bukan merupakan  rezim  Pilkada,  maka  Mahkamah  Konstitusi  tidak  berwenang  untuk  memutus sengketa  hasil  pilkada,  dengan  demikian  kewenangan  tersebut  harus  diserahkan  kembali  ke Mahkamah  Agung.  Mungkin  karena  berdasarkan  pertimbangan  pengalaman  penanganansengketa pilkada  dan pertimbangan-pertimbangan lainnya, sehingga pembuat Undang-undang Nomor  8  Tahun  2015  “memaksa”  Mahkamah  Konstitusi  untuk  menangani  dan  memutus sengketa hasil Pilkada. Untuk jangka pendek persoalan konstitusional ini mungkin tidak akan banyak yang mempermasalahkan, tetapi untuk jangka panjang bisa saja akan menjadi masalah serius dan menjadi faktor penghambat pelaksanaan pilkada-pilkada serentak selanjutnya.  
Terlepas dari persoalan konstitusional diatas, disain pilkada serentak yang sudah diatur dalam  Undang-Undang  Nomor  8  Tahun  2015  patut  diapresiasi  sebagai  salah  satu  upaya penguatan  sistem  pemerintahan  dan  demokrasi  yang  hendak  mengatur  siklus  pilkada  agar terlaksana lebih rapi. Efektifitas Undang-undang Pilkada ini akan teruji mulai Desember Tahun 2015 ini, dimana berdasarkan data yang dirilis PERLUDEM akan ada 269 Daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada. Februari Tahun 2017 ada 99 daerah dan pada gelombang terakhir yaitu Juni Tahun 2018 sebanyak 171 daerah.   

Ujian pertama pelaksnaan Pilkada serentak Tahun 2015 ini akan bermula dari penyediaananggaran,  Ketentuan  Pasal  166  ayat  (1)  Undang-Undang  Nomor  8  Tahun  2015  mengatur pendanaan  pilkada  bersumber  dari  APBD  dan  dapat  didukung  oleh  APBN,  dalam  ayat selanjutnya  disebutkan  dukungan  pendanaan  dari  APBN  akan  diatur  dengan Peraturan Pemerintah, sampai saat ini Peraturan Pemerintah mengenai dukungan pendanaan dari APBN belum juga diterbitkan. Disisi lain dalam Perpu pilkada mengatur sebaliknya, yaitu pendanaan Pilkada  bersumber  dari  APBN dengan  dukungan  pendanaan  dari  APBD.  Perubahan  sekema penganggaran  inilah  yang  mungkin  membuat  daerah  luput  untuk  mengalokasikan  anggaran Pilkada  dalam  pembahasan  APBDnya  atau  bisa  jadi  daerah  berasumsi  bahwa  ketentuan penganggaran ini tidak akan berubah seperti yang diatur dalam Perpu dan mungkin daerah hanya mempersiapkan  dana  dukungan  pilkada.  Selain  itu  Undang-Undang  Nomor  8  Tahun  2015disahkan pada  Tanggal  18  Maret  2015 pada saat  APBD sudah disahkan.  Sehingga beberapa daerah  cukup  kesulitan  untuk  melakukan  revisi  APBD yang  berdampak  pada  terhambatnya tahapan Pilkada yang seharusnya sudah berjalan, padahal dalam rentang waktu yang kurang darisatu  bulan  setelah  Undang-undang  ini  di  sahkan,  menurut  tahapan  pelaksanaan  pilkada sebagaimana  diatur  dalam  Peraturan  KPU  Nomor  2  Tahun  2015  KPU  Provinsi  dan  KPU Kabupaten/Kota  yang  menyelenggarakan  Pilkada  harus  sudah  membentuk  PPK  di  tingkatkecamatan dan PPS di tingkat desa/keluraran, serta harus sudah merancang aktivitas sosialisas idan  pendidikan  politik  kepada  masyarakat  dalam  rangka  pelaksanaan  pilkada.  Ditengah keterbatasan waktu dan persoalan anggaran yang belum tuntas tersebut, jangan berharap banyakkonsolidasi di  tingkat penyelenggara berjalan secara optimal dan akankah tersusun rancangan aktivitas sosialisasi dan pendidikan politik yang visioner.

Masalah  lain  yang  masih  terkait  dengan  anggaran,  yaitu  potensi  membengkaknyaanggaran pilkada dikarenakan adanya kampanye yang dibiayai Negara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan  Pasal  65  ayat  (2)  yaitu  kampanye  berupa  debat  publik,  penyebaran  bahankampanye, pemasangan alat peraga dan iklan di  media,  dampak dari  ketentuan ini diprediksiakan  membuat  anggaran  pilkada  membengkak  pada  kisaran  30-40  % dibandingkan  dengananggaran pilkada sebelumnya, dan itu belum termasuk penghitungan kenaikan akibat inflasi yang dalam batasan normal kurang lebih 6 % per tahun.

Dampak lain  dari  ketentuan  kampanye  yang dibiayai  Negara  yaitu  makin  bertambahrumitnya  pekerjaan  KPU  Provinsi  dan  KPU  Kabupaten/Kota  dikarenakan  harus  disibukandengan pengadaan dan pengelolaan bahan kampanye yang dalam pilkada sebelumnya sebagian besar  menjadi  domain  peserta  pilkada.  Harusnya  hal  ini  harus  segera  diantisipasi  dengan diterbitkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendanaan kampanye olehnegara  yang  pada  pokoknya  mengatur  mekanisme  pendanaan  yang  tidak  membuat  sibukpenyelenggara, misalnya dengan sitem reimburse, yaitu pasangan calon dipersilahkan melakukanpengadaan  bahan  kampanye  serta  melakukan  kegiatan  kampanye  yang  termasuk  katagori kampanye  di  biayai  Negara,  baru  kemudian  mengajukan  penggantian  kepada  Negara  sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

Hal  baru  lainnya  dalam  Undang-undang  pilkada  ini  yang  berpotensi  menambahbengkaknya  anggaran  yaitu  dibentuknya  pengawas  TPS  yang  dibentuk  23  hari  sebelumpemungutan suara dan dibubarkan 7 hari sesudah pemungutan suara sebagaimana diatur dalam Pasal 27. Bisa dibayangkan betapa besar anggaran yang harus dialokasikan untuk membayar honor pengawas TPS, ambil contoh Kabupaten Bogor yang dalam Pilkada Tahun 2013 memilikiTPS sebanyak 7.716 berarti sebanyak itu pula pengawas TPS yang harus di beri honorarium.Maksud diadakannya pengawas pilkada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 adalah untuk meminimalisir potensi kecurangan. Padahal, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan LP3ES justru  kecurangan pilkada  berupa manipulasi  angka dan sejenisnya banyak terjadi  ditingkat rekapitulasi  mulai dari  Desa,  Kecamatan sampai dengan tingkatan diatasnya.  Artinya,dibentuknya pengawas TPS merupakan diagnosa keliru yang justru membebani anggaran. TPS tidak perlu diawasi secara khusus, karena penghitungan suara di TPS sudah sangat transparan dengan  adanya  pengawasan  langsung  dari  masyarakat.  Justru  proses  pemungutan  dan penghitungan suara di TPS pada pemilu/pilkada di Negara kita merupakan yang terbaik di dunia,karena pemungutan  dan penghitungan dilaksanakan pada hari  dan  waktu yang bersamaan diseluruh wilayah Indonesia serta dengan proses yang sangat transparan. Di Amerika dan India saja prosesnya tidak seperti yang terjadi di Negara kita, di India misalnya pemungutan suara hari dan waktunya berbeda-beda untuk setiap Negara bagian.

Tantangan  lain  dari  pilkada  serentak  yaitu  adanya  kemungkinan  isu  spesifik  daerah tenggelam  dengan  isu  nasional,  kondisi  ini  amat  mungkin  terjadi  pada  daerah-daerah  yang jadwal pelaksanaan pilkadanya berbarengan dengan DKI Jakarta. Hampir dipastikan isu pilkada DKI  Jakarta  akan  menjadi  isu  nasional  yang  menyedot  perhatian  masyarakat  se-nusantara termasuk masyarakat  yang didaerahnya sedang berlangsung pilkada.  Menjadi  kontraproduktif ketika masyarakat lebih paham isu pilkada di luar ketimbang isu pilkada yang ada di daerahnya.

Selain hal  tersebut  diatas,  titik  waspada pelaksanaan pilkada  serentak  yaitu  potensi konflik serentak atau bahkan kerusuhan serentak, hal ini bisa dipahami dikarenakan berdasarkan pelaksanaan  pilkada-pilkada  sebelumnya  tidak  sedikit  daerah  yang  diwarnai  konflik  bahkan kerusuhan. Untuk mengantisipasi hal ini perlu adanya konsolidasi serius aparat keamanan dan strategi pengamanan harus diperbaharui. Selain itu proses penegakan hukum dalam pilkada harus lebih baik dengan belajar dari evaluasi pelaksanaan penegakan hukum pileg dan pilpres yang lalu, sehingga prinsip electoral  justice  dapat terjaga dengan baik.

Kekurangan yang nampak dalam Undang-undang Pilkada terkait dengan proses penegakan hukum adalah tidak terdapatnya ketentuan pidana yang mengatur tentang politik uang (money politic) dan mahar politik. Padahal dua tindakan tersebut harusnya diganjar dengan hukuman yang sangat berat, karena politik uang dan mahar politik merupakan sisi gelap pelaksanakan demokrasi di Indonesia yang karenannya prinsip electoral justice tidak akan pernah tegak.

Pada akhirnya,  perlu kerja keras dari  seluruh  stakeholder  untuk mewujudkan pilkada serentak yang kondusif sebagi upaya penataan siklus pemilu yang lebih rapi. Kita masih percaya bahwa  proses  yang  baik  akan  berbuah  baik,  rakyat  masih  percaya  bahwa  melalui  pilkada langsung  peluang  untuk  menghasilkan  pemimpin  daerah  yang  berintegritas  lebih  besar ketimbang  dipilih  melalui  DPRD,  mungkin  karena  keyakinan  rakyat  itulah  Undang-undang pilkada ini lahir dengan segala kekurangannya. Semoga kekurangan-kekurangan ini bisa dengan cepat tertutupi dengan peraturan perundang-undangan dibawahnya. Kita tidak berharap pilkadaserentak menjadi kekacauan serentak.


Sumber: KPU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar